News

Rentetan Bencana Hidrometeorologi di Sumatra Soroti Mendesaknya Penanganan Krisis Ekologis Nasional

3 December 2025
10:06 WIB
Rentetan Bencana Hidrometeorologi di Sumatra Soroti Mendesaknya Penanganan Krisis Ekologis Nasional
sumber gambar : static.republika.co.id
Rentetan bencana hidrometeorologi kembali menghantam sejumlah wilayah di Pulau Sumatra, memicu keprihatinan mendalam atas kondisi ekologi Indonesia. Banjir bandang dan longsor parah yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 telah menyebabkan kerusakan luas dan mengganggu kehidupan ribuan warga. Peristiwa ini bukan sekadar insiden terpisah, melainkan sebuah pengingat brutal bahwa krisis ekologis di Tanah Air telah mencapai titik kritis yang membutuhkan perhatian serius dan tindakan konkret. Dampak yang ditimbulkan mulai dari kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, hingga hilangnya nyawa, menunjukkan kerentanan ekosistem yang semakin parah. Oleh karena itu, penanganan akar masalah ekologis menjadi sebuah keharusan yang tak bisa ditunda lagi.

Krisis ekologis yang mendera Indonesia ini bukanlah fenomena baru, namun dampaknya semakin sering dan intens terasa. Deforestasi masif untuk perkebunan sawit, pertambangan ilegal, serta pembangunan infrastruktur yang tidak berkelanjutan telah mengikis fungsi hutan sebagai penyerap air dan penahan erosi. Hilangnya tutupan lahan mempercepat aliran air permukaan saat hujan deras, memicu banjir bandang dan tanah longsor di daerah-daerah yang sebelumnya aman. Selain itu, perubahan iklim global juga memperparah situasi dengan menyebabkan pola curah hujan yang lebih ekstrem dan tidak terduga di berbagai wilayah. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan di mana kerusakan lingkungan memperparah dampak bencana alam, dan sebaliknya.

Insiden di akhir November 2025 tersebut telah menimbulkan konsekuensi yang menyedihkan bagi masyarakat terdampak. Ribuan rumah terendam, jembatan putus, dan akses jalan terblokir, mengisolasi banyak desa dan menyulitkan upaya bantuan. Data sementara menunjukkan ratusan warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman, meninggalkan harta benda mereka yang rusak atau hilang terbawa arus. Sektor pertanian, yang menjadi tulang punggung ekonomi banyak komunitas lokal, mengalami kerugian besar akibat lahan yang terendam lumpur atau tertimbun material longsor. Pemulihan pascabencana diprediksi akan memakan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit, menambah beban ekonomi dan sosial bagi pemerintah daerah serta masyarakat.

Analisis terhadap serangkaian bencana ini, seperti yang diangkat oleh berbagai pihak, termasuk artikel di Republika Online, menyoroti adanya pendekatan atau pandangan yang secara metaforis disebut sebagai “Wahabi Lingkungan.” Istilah ini, yang muncul dalam diskursus publik, menggambarkan pola pikir atau praktik pembangunan yang sangat rigid, tidak kompromistis, dan cenderung mengabaikan keseimbangan ekologi demi kepentingan jangka pendek. Ini bisa merujuk pada kebijakan atau tindakan yang membenarkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan keberlanjutan hidup. Pandangan semacam ini, disinyalir, berkontribusi pada percepatan degradasi lingkungan dan peningkatan risiko bencana.

Praktik-praktik yang mengarah pada “Wahabi Lingkungan” tersebut seringkali berakar pada berbagai faktor kompleks. Penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggaran lingkungan, tumpang tindih regulasi, serta kurangnya transparansi dalam izin konsesi lahan menjadi celah besar bagi eksploitasi. Konflik kepentingan antara entitas bisnis dan pelestarian lingkungan juga kerap terjadi, di mana kepentingan ekonomi seringkali lebih diutamakan dibandingkan kelestarian alam. Selain itu, minimnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait tata ruang dan pemanfaatan sumber daya alam turut memperparah kondisi. Akibatnya, wilayah-wilayah yang secara ekologis rentan terus menerus menghadapi ancaman kerusakan yang sistematis.

Melihat urgensi dan kompleksitas masalah ini, muncul seruan kuat akan adanya “tugas bersama” dari seluruh elemen bangsa. Pemerintah, sektor swasta, akademisi, organisasi masyarakat sipil, hingga setiap individu harus mengambil peran aktif dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap krisis ekologis. Penegakan hukum yang tegas terhadap perusak lingkungan, revisi kebijakan tata ruang yang lebih berpihak pada keberlanjutan, serta investasi pada energi terbarukan adalah langkah-langkah konkret yang harus diprioritaskan. Selain itu, edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan juga menjadi fondasi penting dalam membangun budaya yang lebih peduli terhadap alam.

Pendekatan reaktif pascabencana saja tidak akan cukup untuk mengatasi skala krisis yang terjadi. Perlu ada pergeseran paradigma menuju langkah-langkah proaktif dan preventif. Penerapan sistem peringatan dini yang efektif, restorasi ekosistem yang rusak seperti hutan mangrove dan lahan gambut, serta reboisasi di daerah hulu sungai adalah beberapa inisiatif penting. Pemerintah daerah juga harus didorong untuk menyusun rencana mitigasi bencana yang komprehensif, mengidentifikasi zona-zona rawan bencana, dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan yang adaptif terhadap perubahan iklim. Kolaborasi lintas sektor dalam perencanaan tata ruang yang berbasis ekologis akan sangat krusial.

Untuk mencapai solusi jangka panjang, Indonesia membutuhkan visi pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara holistik. Kebijakan yang mendukung ekonomi hijau, mendorong praktik pertanian berkelanjutan, dan mempromosikan pariwisata ekologis dapat menjadi motor penggerak transformasi. Investasi pada riset dan inovasi untuk teknologi ramah lingkungan juga harus diperkuat. Selain itu, penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang lingkungan hidup akan memastikan bahwa upaya pelestarian dapat berjalan secara konsisten dan berkesinambungan. Kesadaran kolektif adalah kunci utama dalam membangun masa depan yang lebih lestari.

Rentetan bencana hidrometeorologi di Sumatra pada akhir 2025 ini adalah lonceng peringatan yang tidak bisa diabaikan. Indonesia berada di persimpangan jalan, di mana pilihan untuk bertindak sekarang atau menunda akan menentukan masa depan ekologi dan kesejahteraan masyarakat. Dengan komitmen kuat, kolaborasi multi-pihak, dan pendekatan yang berpihak pada kelestarian alam, krisis ekologis yang mendalam ini masih memiliki peluang untuk diatasi. Namun, jika “Wahabi Lingkungan” terus mendominasi pola pikir dan kebijakan, ancaman bencana yang lebih besar dan sering akan menjadi keniscayaan yang harus ditanggung oleh generasi mendatang.

Referensi: analisis.republika.co.id