Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, tengah dilanda gelombang konflik internal menyusul penunjukan Penjabat Ketua Umum (Pj Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) baru. KH Zulfa Mustofa dikabarkan telah ditunjuk menduduki posisi tersebut dalam sebuah rapat pleno yang berlangsung di Jakarta pada Selasa (9/12). Namun, keputusan mengejutkan ini langsung dibantah tegas oleh Ketua Umum PBNU sah, Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, yang menyatakan hasil pleno tersebut tidak sah. Situasi ini menciptakan dualisme kepemimpinan yang berpotensi memicu ketidakpastian dalam tubuh organisasi yang memiliki jutaan anggota tersebut.
Penunjukan KH Zulfa Mustofa sebagai Pj Ketum PBNU dilaporkan terjadi dalam sebuah rapat pleno yang diklaim sebagai forum tertinggi di luar muktamar. Informasi awal menyebutkan bahwa rapat ini diselenggarakan oleh sekelompok pihak yang merasa perlu adanya kepemimpinan sementara di PBNU karena alasan-alasan internal yang belum dijelaskan secara detail. Proses penunjukan ini menimbulkan banyak pertanyaan, terutama mengenai legitimasi dan tata cara pengambilan keputusan yang sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU. Peran dan kewenangan Pj Ketum sendiri dalam struktur organisasi PBNU menjadi sorotan tajam, mengingat posisi ini biasanya diisi dalam kondisi luar biasa yang telah disepakati bersama.
Respons cepat dan tegas datang dari Gus Yahya, yang menegaskan bahwa tidak mungkin ada dua ketua umum PBNU yang sah secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa rapat pleno yang menunjuk KH Zulfa Mustofa tidak memiliki dasar hukum dan tidak sesuai dengan mekanisme organisasi NU. Gus Yahya menekankan pentingnya menjaga marwah dan keabsahan kepemimpinan PBNU yang telah dipilih melalui muktamar. Pernyataan ini secara implisit menantang otoritas pihak-pihak yang menyelenggarakan pleno tersebut, serta mengingatkan seluruh jajaran PBNU untuk tetap berpegang pada aturan main yang berlaku demi menjaga persatuan organisasi.
Krisis kepemimpinan ini berpotensi memecah belah Nahdlatul Ulama di berbagai tingkatan, mulai dari tingkat pusat hingga cabang-cabang di daerah. Stabilitas internal organisasi menjadi pertaruhan besar, mengingat NU memiliki peran strategis dalam menjaga persatuan bangsa dan moderasi beragama di Indonesia. Konflik semacam ini dapat menguras energi organisasi yang seharusnya fokus pada program-program kemasyarakatan, pendidikan, dan dakwah. Citra PBNU sebagai payung besar umat Islam moderat juga bisa tercoreng jika konflik internal ini tidak segera diselesaikan dengan bijak dan sesuai koridor organisasi.
Mekanisme penggantian atau penunjukan ketua umum dalam PBNU telah diatur secara jelas dalam AD/ART organisasi, yang umumnya mensyaratkan Muktamar sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan. Sebuah rapat pleno, meskipun dihadiri banyak pihak, tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penunjukan ketua umum, apalagi jika dilakukan tanpa persetujuan dari ketua umum dan jajaran syuriyah yang sah. Gus Yahya secara tidak langsung mengindikasikan bahwa prosedur yang dilanggar ini adalah inti dari ketidakabsahan penunjukan tersebut. Hal ini menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap konstitusi organisasi demi menghindari praktik-praktik yang dapat merusak tatanan baku.
Situasi ini tentu memicu keprihatinan luas di kalangan Nahdliyin, para ulama, dan tokoh masyarakat yang berharap PBNU tetap menjadi pilar persatuan. Berbagai pihak menyerukan agar semua unsur di PBNU menahan diri dan menyelesaikan perbedaan pandangan melalui jalur musyawarah yang konstitusional. Mediasi oleh para sesepuh dan kiai khos mungkin diperlukan untuk mencari jalan keluar terbaik dari kebuntuan ini. Penyelesaian konflik secara cepat dan bijaksana sangat esensial untuk menjaga independensi dan integritas organisasi yang telah berusia hampir satu abad ini.
Di tengah dinamika politik nasional yang selalu berubah, peran PBNU sebagai penyeimbang dan penyejuk sangatlah vital. Oleh karena itu, konflik internal ini harus segera diatasi agar tidak melebar dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak luar yang ingin memecah belah NU. Semua elemen PBNU diharapkan dapat kembali bersatu dan fokus pada misi utama organisasi dalam melayani umat dan bangsa. Kejelasan status kepemimpinan PBNU merupakan kunci untuk memastikan roda organisasi berjalan efektif tanpa hambatan yang berarti.
Keputusan akhir terkait legitimasi penunjukan Pj Ketum KH Zulfa Mustofa dan respons Ketua Umum Gus Yahya akan sangat menentukan arah masa depan PBNU. Ini bukan hanya tentang perebutan jabatan, tetapi lebih jauh menyangkut konsistensi dalam menjalankan AD/ART dan menjaga kehormatan organisasi. Publik menanti penyelesaian yang transparan, adil, dan sesuai dengan tradisi keilmuan serta kemaslahatan umat yang selalu dijunjung tinggi oleh Nahdlatul Ulama. Harapan besar tersemat agar PBNU dapat segera keluar dari krisis ini dengan tetap menjaga soliditas dan kewibawaannya.