Said Didu Soroti Fenomena Pasifnya Gerakan Mahasiswa, Mungkinkah Kehilangan Taring?
3 December 2025
13:21 WIB
sumber gambar : fajar.co.id
JAKARTA — Aktivis sosial kawakan, Muhammad Said Didu, baru-baru ini menyuarakan keprihatinan mendalam terkait fenomena menurunnya gairah kritis di kalangan mahasiswa Indonesia. Didu menyoroti apa yang ia sebut sebagai sikap pasif yang semakin dominan di lingkungan kampus, sebuah perubahan signifikan dari peran historis mahasiswa sebagai pilar perubahan sosial. Pernyataannya ini memantik diskusi publik mengenai faktor-faktor di balik keheningan suara mahasiswa yang dahulu begitu lantang. Kekhawatiran ini muncul di tengah dinamika sosial politik nasional yang kompleks, di mana peran pengawasan dari elemen masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, menjadi sangat vital. Said Didu, yang dikenal vokal dalam berbagai isu kenegaraan, menyerukan pentingnya merefleksikan kembali posisi strategis mahasiswa dalam perjalanan bangsa.
Menurut Said Didu, fenomena mahasiswa yang cenderung 'pendiam' ini perlu dikaji secara serius untuk memahami akar permasalahannya. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang aktif mengadvokasi isu-isu keadilan dan reformasi, mahasiswa saat ini dinilai kurang menonjol dalam menyuarakan pandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah atau isu-isu kemasyarakatan. Mereka terlihat lebih banyak berkutat dengan urusan akademik dan pengembangan diri pribadi, meninggalkan peran kolektif sebagai agen kontrol sosial. Situasi ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas fungsi kampus sebagai kawah candradimuka intelektual dan moral bangsa. Ketidakhadiran suara mahasiswa dalam debat publik bisa berpotensi mengikis salah satu pilar demokrasi yang kuat.
Sejumlah faktor kemungkinan besar menjadi penyebab di balik pergeseran sikap mahasiswa ini, sebagaimana sering disoroti oleh para pengamat sosial dan aktivis. Tekanan ekonomi dan orientasi pragmatis terhadap dunia kerja setelah lulus seringkali membuat mahasiswa lebih fokus pada pencapaian akademis dan sertifikasi semata. Selain itu, pesatnya perkembangan teknologi informasi dan media sosial, meskipun membuka ruang ekspresi baru, juga dapat mengalihkan energi mahasiswa dari aksi kolektif nyata ke ranah diskusi daring yang terkadang kurang mendalam. Lingkungan kampus yang mungkin kurang mendorong kebebasan berekspresi secara substansial juga dapat berkontribusi pada sikap apatis tersebut. Kekhawatiran akan masa depan pasca-studi seringkali membatasi keberanian mereka untuk bersuara lantang.
Dampak dari sikap pasif mahasiswa ini tentu saja tidak sepele bagi keberlangsungan demokrasi dan pembangunan nasional. Ketika suara kritis dari mahasiswa meredup, salah satu mekanisme kontrol terhadap kekuasaan menjadi lemah, membuka celah bagi kebijakan yang kurang berpihak pada rakyat. Kurangnya partisipasi aktif dalam isu-isu publik juga dapat menghambat proses regenerasi kepemimpinan yang berintegritas dan memiliki visi sosial kuat. Mahasiswa yang apatis berisiko kehilangan kesempatan untuk membentuk perspektif kritis dan analitis yang esensial untuk masa depan mereka sebagai pemimpin. Oleh karena itu, penting sekali untuk membangkitkan kembali semangat idealisme yang telah lama menjadi ciri khas gerakan mahasiswa Indonesia.
Sejarah Indonesia mencatat bagaimana peran mahasiswa telah berulang kali menjadi penentu arah bangsa, mulai dari era pergerakan kemerdekaan hingga reformasi 1998. Gerakan mahasiswa selalu menjadi barometer vital bagi kesehatan demokrasi dan keadilan sosial di Tanah Air. Dengan latar belakang sejarah gemilang ini, kekhawatiran Said Didu selayaknya menjadi otokritik bagi seluruh elemen di lingkungan perguruan tinggi. Kampus perlu meninjau ulang kurikulum dan ekosistemnya agar lebih merangsang pemikiran kritis dan keberanian berpendapat. Mahasiswa pun diharapkan kembali menempatkan diri sebagai penjaga moral dan agen perubahan yang tak kenal lelah demi kemajuan bangsa.
Pernyataan Muhammad Said Didu ini bukan sekadar kritik, melainkan sebuah panggilan untuk introspeksi kolektif demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Penting bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari rektorat, dosen, hingga organisasi mahasiswa, untuk bersama-sama mencari solusi konkret atas fenomena ini. Mendorong kembali budaya diskusi, riset kritis, dan keberanian menyuarakan kebenaran harus menjadi prioritas utama. Hanya dengan mengembalikan semangat aktivisme yang konstruktif, mahasiswa dapat kembali memainkan peranan krusialnya sebagai kekuatan moral dan intelektual bangsa.