News

Analisis Mendalam Celetukan 'Hopeng' Presiden Prabowo: Antara Kedekatan dan Dinamika Politik

4 December 2025
13:52 WIB
Analisis Mendalam Celetukan 'Hopeng' Presiden Prabowo: Antara Kedekatan dan Dinamika Politik
sumber gambar: rmol.id
Presiden Prabowo Subianto kembali menyita perhatian publik dengan celetukan khasnya yang sarat makna saat meresmikan pabrik petrokimia PT Lotte Chemical Indonesia di Cilegon, Banten, pada Kamis, 6 November 2025. Dalam pidatonya, Presiden Prabowo secara spontan menyatakan, "saya hopeng kok," sebuah respons yang dilontarkan setelah ia terlebih dahulu menyanggah tudingan, "ada yang bilang saya takut dengan Jokowi, buat apa saya takut." Pernyataan ini segera memicu beragam interpretasi dari berbagai kalangan, termasuk pengamat politik dan sosial-psikologis, yang mencoba memahami pesan tersirat di balik pilihan kata tersebut.

Peristiwa tersebut terjadi dalam sebuah acara kenegaraan yang menandai investasi besar dan komitmen terhadap pembangunan ekonomi nasional. Di tengah suasana formal peresmian pabrik yang strategis bagi industri petrokimia Indonesia, Presiden Prabowo memilih untuk menggunakan diksi yang terkesan santai namun memiliki dampak yang signifikan. Celetukan tersebut muncul seolah-olah ingin menepis spekulasi publik mengenai hubungan antara dirinya dan mantan Presiden Joko Widodo, yang kerap menjadi sorotan media dan perbincangan di masyarakat. Penggunaan bahasa yang tidak baku ini menambah dimensi baru dalam komunikasi politik tingkat tinggi.

Kata "hopeng" sendiri, yang berasal dari bahasa Hokkien, lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Maknanya identik dengan "sohib" atau "kawan akrab", yang menggambarkan sebuah kedekatan dan keakraban yang erat. Dengan menggunakan istilah ini, Presiden Prabowo seolah ingin menyampaikan pesan personal tentang kualitas hubungannya dengan Joko Widodo, melampaui sebatas relasi politik formal. Pemilihan kata ini juga bisa diartikan sebagai upaya untuk menunjukkan sisi humanis dan apa adanya dari seorang kepala negara, yang ingin berkomunikasi secara lebih dekat dengan rakyatnya.

Dari sudut pandang politik, pernyataan "saya hopeng kok" dapat diinterpretasikan sebagai penegasan ulang aliansi atau setidaknya hubungan kerja yang harmonis antara dua tokoh politik paling berpengaruh di Indonesia. Terlepas dari dinamika politik yang mungkin ada sebelumnya, celetukan ini menegaskan bahwa tidak ada persaingan atau rasa takut yang fundamental di antara keduanya. Ini bisa menjadi sinyal kuat bagi elite politik dan masyarakat luas bahwa kesinambungan visi dan misi pembangunan akan terus terjaga, tanpa terhalang oleh rumor atau dugaan perpecahan yang seringkali muncul dalam narasi publik.

Pengamat sosial-psikologis melihat celetukan ini sebagai strategi komunikasi yang efektif untuk meredakan ketegangan dan membangun citra positif. Dengan secara terbuka menampik anggapan "takut" dan menggantinya dengan "hopeng", Presiden Prabowo berupaya membangun persepsi publik tentang kemitraan yang kuat dan saling mendukung. Ini juga dapat berfungsi sebagai upaya untuk merangkul kembali narasi tentang persatuan dan kebersamaan, yang sangat penting dalam menjaga stabilitas politik dan sosial di negara yang beragam seperti Indonesia. Pesan ini diharapkan dapat menyebar luas dan menenangkan berbagai pihak.

Reaksi publik terhadap celetukan ini tentu bervariasi, mengingat multi-tafsir yang dimungkinkannya. Sebagian mungkin melihatnya sebagai bentuk kejujuran dan transparansi, sementara yang lain mungkin menganggapnya sebagai manuver politik untuk mengukuhkan posisi. Namun, yang jelas, pernyataan ini berhasil menarik perhatian dan menjadi topik diskusi hangat, menunjukkan betapa sensitifnya dinamika hubungan antar pemimpin di mata masyarakat. Celetukan "hopeng" ini membuktikan bahwa bahasa sehari-hari pun bisa menjadi alat politik yang ampuh jika digunakan pada momen yang tepat oleh figur yang tepat.

Ke depannya, celetukan Presiden Prabowo ini mungkin akan terus dianalisis dalam konteks perpolitikan nasional, terutama menjelang berbagai agenda penting pemerintahan. Apakah ini akan menjadi penanda gaya komunikasi politik yang lebih santai dan personal, ataukah hanya sebuah insiden verbal yang sarat interpretasi? Hanya waktu yang akan menjawab dampak jangka panjang dari pernyataan yang sekilas sederhana namun mengandung bobot makna yang mendalam ini. Yang pasti, peristiwa ini sekali lagi menegaskan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut seorang kepala negara memiliki resonansi dan konsekuensi yang luas dalam ranah publik.

Referensi: rmol.id