Banjir Bandang Landa Tapanuli Meluas, WALHI Tuding 7 Perusahaan Biang Kerok Kerusakan Lingkungan
1 December 2025
13:22 WIB
sumber gambar : statik.tempo.co
Bencana banjir bandang yang melanda wilayah Tapanuli dilaporkan semakin meluas sejak akhir pekan lalu dan terus berlanjut hingga hari ini, Kamis, 27 November 2025. Situasi darurat ini telah menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan masyarakat dan berbagai pihak. Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara tegas menuding tujuh perusahaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas eskalasi bencana ini. Organisasi lingkungan tersebut menyatakan bahwa kerusakan lingkungan yang parah akibat ulah korporasi menjadi bukti tak terbantahkan yang memperparah dampak Siklon Senyar.
Luasnya dampak bencana ini telah menyebabkan ribuan warga terpaksa mengungsi dari rumah mereka yang terendam air. Infrastruktur vital, termasuk jembatan dan jalan penghubung, dilaporkan mengalami kerusakan parah atau bahkan terputus, mengisolasi beberapa desa. Tim SAR gabungan masih terus berupaya melakukan evakuasi dan menyalurkan bantuan kepada korban yang terjebak di lokasi-lokasi terpencil. Ketinggian air di beberapa titik dilaporkan masih mencapai level yang mengkhawatirkan, menghambat upaya pemulihan dan penanganan darurat.
Bencana ini, yang dipicu oleh dampak Siklon Senyar, dinilai WALHI sebagai akibat fatal dari kerusakan lingkungan yang telah berlangsung lama. Siklon Senyar memang membawa curah hujan ekstrem, namun WALHI berargumen bahwa daya dukung lingkungan yang telah melemah memperparah dampaknya. Pembukaan lahan secara masif untuk perkebunan, pertambangan, dan industri lain disinyalir mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan. Akibatnya, air meluap dengan cepat dan menimbulkan banjir bandang yang merusak dan mematikan.
Dalam pernyataan resminya, WALHI menyoroti aktivitas ketujuh perusahaan tersebut yang diduga tidak mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Praktik-praktik seperti deforestasi besar-besaran, perusakan daerah aliran sungai (DAS), dan pengerukan sumber daya alam yang tidak terkontrol dituding sebagai penyebab utama. Meskipun nama-nama perusahaan secara spesifik belum dirilis ke publik oleh WALHI dalam laporan awal ini, fokus tudingan mengarah pada sektor-sektor yang memiliki jejak ekologis besar di Tapanuli. WALHI menegaskan bahwa pola kerusakan ini bukan kebetulan melainkan konsekuensi langsung dari eksploitasi alam.
Kerusakan hutan yang terjadi telah menghilangkan fungsi vital ekosistem sebagai penahan dan penyimpan air alami. Lereng-lereng bukit yang gundul menjadi rentan longsor, menambah daftar bahaya yang mengancam pemukiman warga di dataran rendah. Sedimentasi di sungai-sungai juga meningkat drastis, menyebabkan pendangkalan dan memperparah luapan air saat hujan deras. Lingkungan Tapanuli yang kaya akan keanekaragaman hayati kini menghadapi ancaman ganda dari perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang serius.
WALHI mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi menyeluruh terhadap operasional dan perizinan ketujuh perusahaan yang dituding. Mereka menuntut pertanggungjawaban hukum dan ganti rugi yang adil bagi masyarakat korban bencana. Selain itu, WALHI juga menyerukan moratorium izin baru di sektor-sektor yang berisiko tinggi terhadap lingkungan di Tapanuli. Kebijakan rehabilitasi ekosistem yang komprehensif dianggap krusial untuk mencegah terulangnya bencana serupa di masa mendatang.
Pihak berwenang setempat, baik dari pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Tapanuli, masih berfokus pada penanganan darurat dan evakuasi korban. Belum ada tanggapan resmi terkait tudingan WALHI yang dilayangkan secara terbuka ini. Namun, tekanan dari organisasi lingkungan dan sorotan media diperkirakan akan memaksa pemerintah untuk segera mengambil sikap. Koordinasi lintas sektor dan evaluasi kebijakan lingkungan diharapkan menjadi agenda utama setelah fase tanggap darurat berakhir.
Bencana banjir bandang di Tapanuli ini menjadi pengingat keras akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan menerapkan pembangunan berkelanjutan. Konflik antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan kembali mencuat ke permukaan, menuntut solusi jangka panjang. Tanpa adanya penegakan hukum yang tegas dan komitmen serius terhadap perlindungan alam, masyarakat di wilayah rawan bencana akan terus menjadi korban. Insiden ini menegaskan bahwa biaya kerusakan lingkungan jauh lebih besar dibandingkan keuntungan ekonomi sesaat.