News
Bencana Sumatera: Korporasi Dituntut Prioritaskan Lingkungan di Tengah Krisis Kemanusiaan
10 December 2025
11:29 WIB
sumber gambar: pict.sindonews.net
Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera, mencakup Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, telah menelan korban jiwa ratusan orang, menimbulkan duka mendalam bagi bangsa. Tragedi kemanusiaan ini bukan semata-mata musibah alam biasa yang tak dapat dihindari, melainkan sebuah refleksi dari akumulasi kelalaian manusia yang secara signifikan memperburuk kerentanan ekologis wilayah tersebut. Menyikapi bencana berulang ini, muncul seruan tegas kepada seluruh entitas perusahaan agar tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial semata. Lebih dari itu, sektor korporasi diharapkan menempatkan pertimbangan dampak lingkungan sebagai prioritas utama dalam setiap aktivitas bisnisnya di wilayah rawan bencana. Peristiwa tragis ini menjadi pengingat pahit akan harga mahal dari pengabaian terhadap kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem.
Fenomena "kelalaian manusia" yang disebutkan dalam konteks bencana ini merujuk pada serangkaian aktivitas antropogenik yang merusak lingkungan secara sistematis. Deforestasi masif untuk pembukaan lahan perkebunan, pertambangan, atau infrastruktur, secara drastis mengurangi tutupan hutan yang berfungsi sebagai penahan air alami. Praktik pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan, seperti monokultur dan penggunaan bahan kimia berlebihan, semakin mengikis kesuburan tanah dan meningkatkan risiko erosi. Ditambah lagi, pembangunan di daerah resapan air atau lereng curam tanpa perencanaan yang matang, semakin mempercepat laju tanah longsor saat curah hujan tinggi. Akumulasi dampak dari aktivitas-aktivitas ini menjadikan ekosistem Sumatera sangat rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrem, mengubah ancaman alami menjadi bencana besar.
Selama beberapa dekade, pembangunan ekonomi di Indonesia, khususnya di Sumatera, seringkali menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas pertimbangan lingkungan. Kejar target profitabilitas yang agresif seringkali mengesampingkan studi dampak lingkungan yang komprehensif atau implementasi mitigasi yang memadai. Perusahaan-perusahaan kerap kali beroperasi dengan pandangan jangka pendek, mengoptimalkan ekstraksi sumber daya tanpa memikirkan keberlanjutan ekosistem bagi generasi mendatang. Paradigma ini telah menciptakan jurang antara ambisi pembangunan dan kapasitas daya dukung lingkungan, menyebabkan degradasi lahan dan air yang masif. Situasi ini menunjukkan urgensi untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan imperative menjaga kelestarian lingkungan demi kesejahteraan jangka panjang.
Sektor-sektor industri seperti perkebunan kelapa sawit, industri pulp dan kertas, serta pertambangan batubara dan mineral, memiliki jejak lingkungan yang signifikan di Sumatera. Perusahaan-perusahaan ini seringkali menguasai konsesi lahan yang luas, sehingga praktik operasional mereka memiliki dampak besar terhadap bentang alam. Kurangnya kepatuhan terhadap standar pengelolaan lingkungan yang ketat, atau bahkan praktik ilegal seperti pembakaran lahan dan pembuangan limbah sembarangan, telah mempercepat kerusakan. Oleh karena itu, tanggung jawab korporasi tidak hanya sebatas kepatuhan hukum minimal, tetapi juga mencakup komitmen proaktif terhadap restorasi ekosistem dan pemberdayaan masyarakat lokal. Penerapan standar Environment, Social, and Governance (ESG) secara menyeluruh menjadi krusial untuk mencegah bencana serupa di masa depan.
Dampak dari bencana yang diperparah oleh kelalaian manusia ini tidak hanya terbatas pada kerusakan lingkungan, melainkan juga berimbas langsung pada hak asasi manusia. Ratusan korban jiwa dan ribuan warga yang mengungsi adalah bukti nyata dari ancaman terhadap hak untuk hidup, hak atas tempat tinggal yang aman, dan hak atas lingkungan yang sehat. Komunitas adat dan masyarakat lokal, yang secara tradisional hidup harmonis dengan alam, seringkali menjadi pihak yang paling rentan dan terdampak. Mereka kehilangan mata pencarian, lahan pertanian, dan bahkan identitas budaya akibat perubahan lingkungan yang ekstrem. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan praktik korporasi harus mempertimbangkan aspek sosial dan kemanusiaan secara mendalam, memastikan bahwa pembangunan tidak mengorbankan kesejahteraan masyarakat.
Peran pemerintah sebagai regulator dan pengawas menjadi sangat vital dalam memastikan keberlanjutan lingkungan dan mencegah ekses korporasi. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan, termasuk pencabutan izin bagi perusahaan yang terbukti merusak ekosistem, merupakan langkah fundamental yang harus diambil. Selain itu, pemerintah perlu meninjau ulang dan memperketat proses perizinan untuk proyek-proyek yang berpotensi memiliki dampak lingkungan besar. Tata ruang wilayah harus direncanakan secara cermat, dengan mempertimbangkan peta kerentanan bencana dan zona konservasi. Koordinasi antarlembaga pemerintah, mulai dari pusat hingga daerah, juga harus diperkuat untuk menciptakan sistem perlindungan lingkungan yang holistik dan efektif.
Untuk membangun masa depan yang lebih tangguh, perusahaan harus berinvestasi dalam praktik bisnis berkelanjutan yang melampaui kepatuhan minimal. Ini termasuk adopsi teknologi ramah lingkungan, pengembangan energi terbarukan, dan program reboisasi serta restorasi lahan gambut. Inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) perlu difokuskan pada upaya mitigasi bencana, pendidikan lingkungan bagi masyarakat, dan dukungan mata pencarian yang berkelanjutan. Transformasi menuju ekonomi hijau bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan yang mendesak untuk menjaga keseimbangan ekologis. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil akan menjadi kunci utama dalam merumuskan dan mengimplementasikan solusi jangka panjang yang efektif.
Tragedi di Sumatera harus menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk melakukan refleksi mendalam dan perubahan paradigma. Ini adalah panggilan untuk mengakui bahwa kesehatan ekosistem adalah fondasi bagi stabilitas sosial dan ekonomi. Setiap keputusan bisnis, setiap kebijakan pemerintah, dan setiap tindakan individu harus diorientasikan pada prinsip keberlanjutan dan keadilan lingkungan. Hanya dengan menempatkan bumi dan manusianya sebagai prioritas utama, kita dapat mencegah terulangnya bencana serupa di masa depan. Kesadaran kolektif untuk melindungi lingkungan harus menjadi bagian integral dari etos pembangunan nasional kita.
Pada akhirnya, bencana di Sumatera secara gamblang menunjukkan bahwa ambisi mengejar profit semata tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan adalah resep menuju kehancuran. Ratusan korban jiwa dan kerugian materi yang tak terhitung menjadi bukti nyata dari konsekuensi fatal pengabaian ini. Sudah saatnya bagi korporasi untuk tidak hanya melihat lahan dan sumber daya alam sebagai komoditas semata, melainkan sebagai aset vital yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya. Urgensi untuk beralih ke model bisnis yang bertanggung jawab dan berkelanjutan kini berada di titik puncak, menuntut tindakan konkret dan segera dari semua pihak demi menyelamatkan kehidupan dan masa depan Indonesia.
Referensi:
nasional.sindonews.com