News
DPR Desak Revisi UU Cagar Budaya: Desa Pemilik Situs dan Juru Pelihara Diusulkan Terima Insentif
3 December 2025
10:14 WIB
sumber gambar : cloud.jpnn.com
Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, mendesak percepatan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya demi penguatan pelestarian warisan bangsa. Desakan ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan mendesak untuk meningkatkan perlindungan dan pengelolaan aset budaya negara yang menghadapi berbagai tantangan. Politikus tersebut menggarisbawahi tiga usulan krusial yang dianggapnya vital untuk dimasukkan dalam amandemen regulasi tersebut. Usulan-usulan ini meliputi penguatan kapasitas dan jaminan pendanaan, pemberian insentif ke desa pemilik situs, serta peningkatan kesejahteraan juru pelihara dan pekerja cagar budaya. Inisiatif ini diharapkan dapat membawa perubahan signifikan dalam upaya pelestarian warisan budaya Indonesia agar lebih berkelanjutan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010, yang saat ini berlaku, dinilai belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan kompleks dalam pelestarian cagar budaya di era modern. Banyak situs cagar budaya di berbagai daerah menghadapi kendala serius seperti minimnya pendanaan yang memadai, keterbatasan sumber daya manusia terlatih, serta partisipasi masyarakat yang belum optimal. Kondisi ini seringkali menyebabkan pemeliharaan situs menjadi kurang maksimal, rentan terhadap kerusakan, dan bahkan berpotensi hilang. Oleh karena itu, percepatan revisi menjadi prioritas agar kerangka hukum yang lebih komprehensif dan responsif dapat segera terwujud. Bonnie Triyana berharap revisi ini dapat menjadi payung hukum yang lebih kuat bagi keberlanjutan dan perlindungan cagar budaya di seluruh pelosok negeri.
Usulan pertama yang menjadi fokus utama Bonnie Triyana adalah penguatan kapasitas lembaga serta jaminan pendanaan yang berkelanjutan untuk pengelolaan cagar budaya. Ia menekankan pentingnya alokasi anggaran yang memadai, baik dari pemerintah pusat maupun daerah, untuk berbagai kegiatan esensial seperti identifikasi, konservasi, restorasi, dan publikasi. Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan profesional bagi arkeolog, konservator, kurator, dan tenaga ahli lainnya juga menjadi poin krusial yang harus diperhatikan. Dengan dana dan SDM yang memadai, diharapkan pengelolaan cagar budaya dapat dilakukan secara ilmiah, profesional, dan sesuai standar internasional. Jaminan pendanaan ini juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada sumber-sumber dana yang tidak pasti, memastikan keberlanjutan program pelestarian jangka panjang.
Poin kedua yang tidak kalah penting adalah pemberian insentif kepada desa-desa yang menjadi pemilik atau lokasi situs cagar budaya. Ide ini muncul dari pemahaman mendalam bahwa masyarakat lokal, khususnya di tingkat desa, adalah garda terdepan dan mitra paling dekat dalam menjaga serta melestarikan warisan budaya tersebut. Insentif yang diusulkan bisa beragam, mulai dari alokasi dana khusus untuk pengembangan desa berbasis cagar budaya, hingga program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pariwisata budaya yang berkelanjutan. Dengan adanya insentif yang konkret, diharapkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam pelestarian akan meningkat secara signifikan, menciptakan rasa kepemilikan yang kuat. Langkah ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi dari keberadaan cagar budaya dapat dirasakan langsung oleh komunitas lokal, sehingga mereka menjadi bagian integral dari upaya pelestarian.
Terakhir, Bonnie Triyana juga mengusulkan peningkatan kesejahteraan juru pelihara dan pekerja cagar budaya yang selama ini seringkali bekerja dengan upah minim dan kondisi yang belum ideal. Juru pelihara memegang peran vital dan strategis sebagai ujung tombak dalam perawatan harian dan perlindungan fisik situs-situs bersejarah di seluruh Indonesia, dari ancaman kerusakan maupun vandalisme. Namun, kondisi kerja dan imbalan yang mereka terima seringkali belum sepadan dengan tanggung jawab besar yang diemban serta dedikasi yang mereka berikan. Revisi undang-undang diharapkan dapat menjamin upah yang layak, jaminan kesehatan dan sosial, serta pelatihan berkelanjutan bagi mereka untuk meningkatkan kompetensi. Peningkatan kesejahteraan ini tidak hanya akan memberikan keadilan bagi para pekerja, tetapi juga akan memotivasi mereka untuk bekerja lebih optimal dalam menjaga warisan berharga ini bagi generasi mendatang.
Dengan memasukkan ketiga usulan utama tersebut, revisi Undang-Undang Cagar Budaya diharapkan dapat menciptakan ekosistem pelestarian yang lebih holistik, partisipatif, dan berkelanjutan. Bonnie Triyana optimis bahwa perubahan regulasi ini akan memperkuat landasan hukum yang ada, meningkatkan partisipasi aktif masyarakat di semua tingkatan, serta menjamin keberlanjutan pengelolaan cagar budaya di masa depan. Proses revisi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan ini menunjukkan komitmen serius pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjaga identitas dan kekayaan budaya bangsa. Diharapkan, rancangan undang-undang ini dapat segera dibahas dan disahkan demi masa depan cagar budaya Indonesia yang lebih cerah dan terlindungi. Implementasi revisi ini akan menjadi tonggak penting dalam menjaga kekayaan sejarah dan budaya bagi generasi mendatang, memastikan warisan berharga ini tetap lestari.
Referensi:
www.jpnn.com