News
Seruan Fikih Ekologi Menggema: Prinsip Syariah Jadi Solusi Krisis Lingkungan Indonesia
8 December 2025
09:47 WIB
sumber gambar : static.republika.co.id
Bencana ekologis beruntun yang melanda berbagai wilayah di Sumatra, seperti Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, telah memicu refleksi mendalam di kalangan pemerhati lingkungan dan tokoh agama. Fenomena ini bukan semata-mata diartikan sebagai akibat cuaca ekstrem biasa, melainkan sebagai ‘bahasa bumi’ yang mengisyaratkan adanya ‘iqab’ atau sanksi atas eksploitasi alam. Merespons kondisi darurat ini, muncul seruan kuat untuk mengimplementasikan ‘Fikih Ekologi’, sebuah kerangka syariah guna menata ulang pengelolaan sektor vital seperti perkebunan sawit dan pertambangan. Pendekatan ini diharapkan mampu membawa solusi holistik dalam upaya mitigasi bencana lingkungan dan memastikan keberlanjutan sumber daya alam bagi generasi mendatang. Para ahli berpendapat bahwa hanya dengan menanamkan prinsip-prinsip keadilan ekologis ini, Indonesia dapat keluar dari lingkaran krisis lingkungan yang kian memburuk.
Interpretasi bencana sebagai ‘iqab’ menggambarkan kritik spiritual dan etis yang mendalam terhadap praktik pengelolaan sumber daya alam kontemporer. Sudut pandang ini menyoroti bahwa kerusakan lingkungan, terutama yang didorong oleh eksploitasi berlebihan di industri seperti perkebunan monokultur besar dan pertambangan ekstraktif, bertentangan dengan ajaran fundamental Islam mengenai peran manusia sebagai khalifah di bumi. Narasi ini melampaui penjelasan ilmiah murni, menambahkan dimensi moral yang mendesak peninjauan ulang hubungan manusia dengan alam. Ini menekankan pentingnya akuntabilitas serta konsekuensi jangka panjang dari pengabaian keseimbangan ekologis yang telah berakar. Oleh karena itu, siklus bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan dianggap sebagai respons langsung dari alam terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh manusia.
Fikih Ekologi menawarkan kerangka kerja yang berakar pada yurisprudensi Islam, dirancang untuk memandu interaksi manusia dengan lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Bidang inovatif ini berupaya menetapkan panduan etis untuk pemanfaatan sumber daya, konservasi, dan keberlanjutan, memandang alam sebagai amanah suci dari Tuhan. Berbeda dengan gerakan lingkungan sekuler, Fikih Ekologi mengintegrasikan akuntabilitas spiritual dengan manajemen ekologi praktis, mempromosikan pandangan dunia holistik di mana kesejahteraan manusia secara intrinsik terhubung dengan kesehatan planet. Cakupan ajarannya meliputi berbagai aspek, mulai dari pengelolaan air, perlindungan keanekaragaman hayati, hingga pembuangan limbah yang bertanggung jawab dan penggunaan lahan yang adil. Tujuan utamanya adalah mendorong terciptanya masyarakat yang hidup harmonis dengan alam, mencegah eksploitasi, dan mendukung regenerasi lingkungan secara berkelanjutan.
Dalam konteks industri kelapa sawit, Fikih Ekologi menganjurkan praktik-praktik yang melampaui sekadar maksimalisasi keuntungan, dengan memprioritaskan integritas ekologis dan kesejahteraan masyarakat. Prinsip ini akan mewajibkan pembukaan lahan secara berkelanjutan, melarang praktik tebang-bakar, serta mendorong pendekatan agroforestri atau tanaman campur untuk menjaga keanekaragaman hayati dan kesehatan tanah. Lebih lanjut, Fikih Ekologi menekankan perlakuan adil terhadap masyarakat lokal, memastikan hak-hak dan mata pencarian mereka terlindungi, alih-alih tergusur oleh perkebunan besar. Pedoman ini juga akan membimbing pengadaan bahan baku yang etis, pengelolaan limbah yang bertanggung jawab dari pabrik pengolahan, serta restorasi lahan yang terdegradasi setelah siklus tanam. Implementasi pedoman ini bertujuan mengubah produksi kelapa sawit menjadi model pertanian yang lestari dan berkeadilan bagi semua pihak.
Untuk sektor pertambangan, prinsip-prinsip Fikih Ekologi menuntut pergeseran radikal menuju metode ekstraksi yang bertanggung jawab secara lingkungan dan reklamasi pasca-tambang yang komprehensif. Ini mencakup penilaian dampak yang ketat sebelum operasi dimulai, meminimalkan perusakan habitat, dan mencegah kontaminasi air serta tanah dari limbah beracun. Fikih Ekologi juga menekankan pentingnya mengembalikan area yang ditambang ke fungsi ekologis aslinya atau ke kondisi yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Selain pertimbangan lingkungan, Fikih Ekologi menuntut bahwa operasi pertambangan benar-benar berkontribusi pada kesejahteraan penduduk sekitar, memastikan distribusi manfaat yang adil dan tata kelola yang transparan. Konsep amanah menegaskan bahwa sumber daya mineral, sebagai karunia Tuhan, harus dimanfaatkan secara bijaksana demi kemaslahatan bersama, bukan hanya segelintir pihak.
Implementasi Fikih Ekologi di tengah lanskap industri Indonesia yang kompleks, khususnya di sektor-sektor berdampak tinggi, menghadapi tantangan yang signifikan. Dibutuhkan upaya kolektif dari pembuat kebijakan, pelaku industri, tokoh agama, dan organisasi masyarakat sipil untuk menerjemahkan prinsip-prinsip etika ini menjadi peraturan yang dapat ditegakkan dan praktik bisnis berkelanjutan. Mengatasi kepentingan ekonomi yang mengakar, korupsi, serta kurangnya kesadaran akan tanggung jawab ekologis menjadi krusial demi keberhasilan inisiatif ini. Edukasi dan peningkatan kapasitas juga esensial untuk membekali masyarakat dan korporasi dengan pengetahuan serta alat untuk mengadopsi praktik-praktik yang ramah lingkungan secara efektif. Skala transformasi yang diperlukan menuntut adanya kemauan politik yang kuat dan pergeseran fundamental dalam nilai-nilai masyarakat menuju sikap kepemimpinan ekologis.
Pada akhirnya, seruan ‘Indonesia Darurat Fikih Ekologi’ bukan sekadar ajakan konservasi lingkungan; ini adalah undangan mendesak untuk perubahan paradigma dalam cara bangsa ini berinteraksi dengan karunia alamnya. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip syariah ke dalam pengelolaan sektor-sektor krusial seperti kelapa sawit dan pertambangan, Indonesia berpeluang besar untuk membangun jalur menuju pembangunan yang benar-benar berkelanjutan. Pendekatan komprehensif ini menjanjikan tidak hanya mitigasi frekuensi dan intensitas bencana lingkungan yang semakin meningkat, tetapi juga pembentukan masyarakat yang lebih adil, tangguh, dan selaras secara spiritual. Hal ini akan memberikan dampak positif bagi kehidupan generasi mendatang, memastikan mereka mewarisi bumi yang lestari dan sejahtera. Masa depan ekosistem dan masyarakat Indonesia sangat bergantung pada penerimaan kerangka etika yang mendalam ini sebagai sebuah jalan keluar dari krisis.
Referensi:
analisis.republika.co.id