News
DJP Perketat Kepatuhan Pajak Pertambangan: Dokumen Tax Clearance Wajib untuk RKAB 2026
1 December 2025
13:24 WIB
sumber gambar : pict.sindonews.net
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah mengambil langkah strategis yang signifikan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pertambangan, dengan menerapkan kebijakan baru yang akan berlaku mulai tahun 2026 mendatang. Kebijakan ini mewajibkan seluruh pengusaha tambang untuk melampirkan dokumen *tax clearance* sebagai prasyarat utama dalam pengajuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) mereka. Langkah ini merupakan bagian dari upaya masif DJP untuk meningkatkan kepatuhan pajak sekaligus mendorong integrasi sistem Minerba One dengan Coretax System. Inisiatif ini digadang-gadang akan menjadi kunci dalam memburu potensi pajak yang selama ini belum tergarap maksimal di industri ekstraktif. DJP berkomitmen penuh untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, akuntabel, dan efisien demi kemajuan perekonomian nasional.
RKAB sendiri merupakan dokumen fundamental bagi setiap perusahaan pertambangan, yang berisi rencana operasional tahunan, estimasi produksi, serta komitmen lingkungan dan sosial mereka. Persetujuan RKAB sangat krusial karena tanpanya, perusahaan tidak dapat menjalankan kegiatan operasional penambangan secara legal. Dengan menjadikan *tax clearance* sebagai syarat wajib, DJP secara efektif mengaitkan kelangsungan operasional perusahaan dengan ketaatan mereka terhadap kewajiban perpajakan. Ini berarti bahwa perusahaan yang memiliki tunggakan atau masalah perpajakan harus menyelesaikannya terlebih dahulu sebelum RKAB mereka dapat diproses. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong disiplin pajak yang lebih tinggi di kalangan pelaku usaha pertambangan, baik skala besar maupun kecil.
Fokus utama dari strategi DJP ini adalah integrasi dua sistem besar: Minerba One dan Coretax System. Minerba One adalah platform digital yang digunakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengelola data perizinan dan operasional pertambangan. Sementara itu, Coretax System adalah sistem administrasi perpajakan inti yang sedang dikembangkan oleh DJP untuk memodernisasi seluruh proses perpajakan. Integrasi kedua sistem ini akan memungkinkan pertukaran data secara *real-time* dan otomatis antara informasi produksi, penjualan, dan keuangan perusahaan tambang dengan data perpajakan mereka. Dengan demikian, DJP akan memiliki kemampuan untuk melakukan verifikasi silang yang lebih akurat dan mengidentifikasi potensi kebocoran pajak secara lebih dini dan efektif.
Pengejaran pajak di sektor pertambangan ini bukan tanpa alasan. Industri pertambangan, dengan nilai komoditas yang tinggi dan rantai pasok yang kompleks, seringkali menjadi sektor yang menantang dalam hal pengawasan perpajakan. Fluktuasi harga komoditas global dan sifat operasional di lokasi terpencil juga menambah kerumitan dalam pemungutan pajak. Pemerintah melihat bahwa sektor ini menyimpan potensi penerimaan negara yang besar yang belum sepenuhnya tergali. Oleh karena itu, langkah-langkah pengetatan ini diambil sebagai upaya konkret untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia memberikan kontribusi yang maksimal bagi kas negara dan pembangunan berkelanjutan.
Bagi para pengusaha tambang, kebijakan ini menuntut kesiapan dan adaptasi yang cepat. Mereka harus memastikan bahwa seluruh kewajiban perpajakan mereka, mulai dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga royalti dan iuran lainnya, telah terpenuhi dengan baik dan tepat waktu. Perusahaan yang tidak patuh berisiko menghadapi penundaan atau bahkan penolakan RKAB, yang dapat berdampak serius pada operasional dan kinerja bisnis mereka. Dalam jangka panjang, kebijakan ini juga mendorong perusahaan untuk membangun sistem manajemen pajak internal yang lebih robust dan transparan, serta meningkatkan keterlibatan dengan konsultan pajak profesional untuk memastikan kepatuhan penuh.
Potensi dampak positif dari kebijakan ini terhadap penerimaan negara sangat besar. Dengan meningkatnya kepatuhan pajak di sektor pertambangan, diharapkan akan terjadi peningkatan signifikan pada pendapatan negara, yang dapat dialokasikan untuk membiayai berbagai program pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, serta layanan publik lainnya. Ini juga mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan eksternal dan memperkuat fondasi ekonomi domestik melalui optimalisasi penerimaan internal. Peningkatan transparansi juga dapat menarik investasi yang lebih berkualitas ke sektor ini, karena investor cenderung lebih percaya pada lingkungan bisnis yang patuh dan teratur.
Meskipun memiliki tujuan yang mulia, implementasi kebijakan ini tentu akan menghadapi berbagai tantangan. Kesiapan teknis kedua sistem, Minerba One dan Coretax, serta infrastruktur pendukungnya, harus benar-benar teruji untuk memastikan interoperabilitas yang mulus. Di sisi lain, sosialisasi dan edukasi yang intensif diperlukan untuk memastikan semua pemangku kepentingan, terutama perusahaan tambang, memahami sepenuhnya persyaratan baru ini. DJP perlu menyediakan panduan yang jelas dan kanal bantuan untuk memfasilitasi transisi ini, terutama bagi perusahaan-perusahaan kecil yang mungkin memiliki sumber daya terbatas. Evaluasi berkala dan mekanisme umpan balik juga penting untuk menyempurnakan sistem seiring berjalannya waktu.
Dengan langkah progresif ini, Direktorat Jenderal Pajak menegaskan komitmennya dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pertambangan secara berkesinambungan. Integrasi sistem digital dan persyaratan *tax clearance* diharapkan mampu menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih transparan, adil, dan akuntabel di industri ekstraktif. Kebijakan ini bukan hanya tentang memburu potensi pajak yang terlewat, tetapi juga membangun budaya kepatuhan yang berkelanjutan di kalangan pelaku usaha. Pada akhirnya, upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia memberikan kontribusi maksimal bagi kesejahteraan rakyat dan mendukung pembangunan nasional secara menyeluruh.
Referensi:
ekbis.sindonews.com