News

Paradoks REDD+: Pembabatan Hutan Sehat di Kalsel Picu Kritik Tajam

1 December 2025
13:28 WIB
Paradoks REDD+: Pembabatan Hutan Sehat di Kalsel Picu Kritik Tajam
sumber gambar : mediaindonesia.gumlet.io
Praktik kontroversial terkait program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di Kalimantan Selatan tengah menjadi sorotan tajam. Alih-alih melestarikan, sejumlah laporan menyebutkan adanya pembabatan pepohonan rimbun untuk kegiatan penanaman baru di bawah skema RBP-REDD+. Kondisi ini memicu kritik keras dari berbagai pihak yang mempertanyakan efektivitas dan konsistensi program mitigasi perubahan iklim tersebut. Langkah ini dianggap bertentangan dengan prinsip dasar REDD+ yang seharusnya mencegah deforestasi, bukan memicunya. Polemik ini menimbulkan kekhawatiran serius terhadap masa depan hutan dan komitmen iklim Indonesia secara keseluruhan.

Program REDD+ sendiri merupakan inisiatif global yang didesain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, sekaligus meningkatkan stok karbon hutan. Tujuannya sangat mulia, yakni melindungi ekosistem hutan yang ada, mengelola hutan secara berkelanjutan, dan mendorong reforestasi di lahan terdegradasi. Oleh karena itu, dugaan pembabatan hutan sehat untuk kegiatan penanaman baru ini menjadi paradoks yang sulit diterima dan mencoreng citra program. Prinsip utama REDD+ adalah mempertahankan tutupan hutan yang ada sebelum melakukan upaya penanaman di area yang benar-benar membutuhkan restorasi dan rehabilitasi. Kritikus berpendapat bahwa praktik semacam ini justru merusak integritas lingkungan dan kepercayaan publik, bahkan berpotensi merugikan keanekaragaman hayati.

Berdasarkan informasi yang beredar, pembabatan dilakukan pada area hutan yang sebelumnya masih memiliki tutupan pohon yang cukup lebat dan berfungsi sebagai habitat alami. Pohon-pohon yang ditebang diduga bukan merupakan vegetasi pionir atau semak belukar, melainkan pohon-pohon berukuran sedang yang telah berkontribusi pada ekosistem lokal selama bertahun-tahun. Area yang dibabat kemudian disiapkan untuk penanaman jenis pohon tertentu yang diklaim sebagai bagian dari upaya restorasi atau peningkatan stok karbon. Namun, hilangnya vegetasi alami yang sudah mapan berpotensi mengganggu siklus hidrologi, memicu erosi tanah, dan mengancam kelangsungan hidup satwa liar dalam jangka pendek. Luasan area yang terdampak masih menjadi pertanyaan utama yang memerlukan klarifikasi lebih lanjut dari pihak berwenang.

Kritikan tajam datang dari berbagai organisasi lingkungan lokal maupun nasional, serta sejumlah pakar kehutanan dan konservasi. Mereka menyoroti bahwa tindakan ini secara fundamental menyimpang dari esensi program REDD+ yang berorientasi pada perlindungan hutan yang sudah ada. Pembabatan hutan sehat untuk penanaman baru dianggap sebagai bentuk 'greenwashing' yang justru merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar, bukan sebaliknya. Dampak ekologis jangka panjang, termasuk potensi hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan tata air, menjadi kekhawatiran utama yang disampaikan secara terbuka. Para kritikus mendesak adanya investigasi menyeluruh untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program ini di Kalimantan Selatan.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi yang komprehensif dari pihak pelaksana program RBP-REDD+ di Kalimantan Selatan maupun otoritas kehutanan terkait. Namun, beberapa sumber tidak resmi menyebutkan bahwa langkah penanaman ini mungkin didasarkan pada strategi 'mengganti' jenis pohon tertentu dengan spesies yang dianggap lebih efektif dalam penyerapan karbon, atau untuk restrukturisasi hutan demi tujuan tertentu. Justifikasi ini tentu saja perlu diuji dan diverifikasi secara independen oleh tim ahli yang tidak terafiliasi dengan program tersebut. Publik menuntut penjelasan rinci mengenai dasar pengambilan keputusan dan kajian dampak lingkungan yang telah dilakukan sebelum pembabatan dilaksanakan, termasuk potensi dampak sosial kepada masyarakat adat. Ketiadaan komunikasi yang transparan semakin memperkeruh suasana dan memicu spekulasi di tengah masyarakat, memperkuat dugaan adanya praktik yang tidak sesuai prosedur.

Insiden di Kalimantan Selatan ini membuka diskusi penting mengenai implementasi program REDD+ di seluruh Indonesia dan skema-skema mitigasi iklim lainnya. Kejadian serupa berpotensi merusak reputasi program konservasi global dan mengurangi kepercayaan para donor maupun mitra internasional terhadap komitmen Indonesia. Pentingnya tata kelola hutan yang transparan, partisipasi aktif masyarakat adat dan lokal, serta pengawasan ketat dari berbagai pihak menjadi kunci keberhasilan program. Tanpa pengawasan yang memadai dan mekanisme umpan balik yang efektif, niat baik program lingkungan bisa saja disalahgunakan atau diterapkan secara keliru. Pemerintah diharapkan segera mengambil tindakan konkret untuk meninjau kembali seluruh proyek REDD+ yang sedang berjalan dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konservasi yang sebenarnya.

Polemik pembabatan hutan untuk penanaman dalam program REDD+ di Kalimantan Selatan ini adalah sebuah pengingat akan kompleksitas dan tantangan dalam upaya mitigasi perubahan iklim di negara berkembang. Sebuah program yang sejatinya bertujuan menjaga kelestarian hutan dan mengurangi emisi, kini justru dipertanyakan validitas serta integritasnya di lapangan. Akuntabilitas penuh dan investigasi mendalam sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik serta memastikan bahwa setiap langkah yang diambil benar-benar mendukung keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Hutan Indonesia adalah aset berharga yang harus dilindungi dengan bijak dan tanpa kompromi, demi generasi mendatang dan keseimbangan ekosistem global yang berkelanjutan. Masa depan lingkungan hidup bergantung pada tindakan yang konsisten dan bertanggung jawab.

Referensi: mediaindonesia.com